Turbulensi Penegakan Hukum Kita

Beberapa kasus ditanah air, telah memeberikan publik, akademisi, dan mahasiswa untuk meninjau kembali pendekatan hukum kita, apakah pendekatan hukum kita berujung pada keadilan susbtantif atau keadilan normatif? Ini merupakan masalah mendasar yang kedepnnya harus mampu dijawab dalam praktik penegakan hukum kita.
Kasus pembunuhan begal di malang oleh seorang pelajar SMA berinisial (ZA), dilatar belakangi oleh upaya pembelaan terhadap pacarnya, sekaligus bagi dirinya yang pada saat itu berada dalam situasi terancam. Namun, pembelaan yang berakibat terjadinya peristiwa hilangnya nyawa orang telah membawa (ZA) pada dakwaan dengan pasal 340 tentang pembunuhan berencana, pasal 338 tentang pembunuhan, Juncto Pasal 351 tentang penganiyayaan yang menyebabkan kematian (KUHP).
Begitu pula dengan Kasus Lanjar yang kehilangan istrinya karena kecelakaan bersama, namun didakwa menghilangkan nyawa orang lain karena kelalaiannya terpaksa harus mendekam dipenjara di karanganyar, kasus yang berbeda namun melalui logika pengekan hukum yang sama “ posistivistik” telah menghasilkan keadilan yang tidak substantif, jika dituangkan lebih lanjut masih banyak deretan persoalan hukum ditanah air yang tampaknya belum mampu menghasilkan keadilan yang hakiki.
Hasil daripada proses penegaakan hukum ini mencerminkan secara mutlak bagaimana mekanisme kita melaksanakan pendekatan hukum “Legal Approach” untuk menghasilkan keadilan substantif “legal Susbtance” masih terjebak pada logika formalisme hukum yang setiap saat bertumbu pada aspek kepastian hukum yang secara bersamaan nyaris menghilangkan dua aspek lainnya, yakni keadilan “justice” dan kemanfaatan “expediency”.
Pola penegakan hukum yang demikian statis dan tidak mampu menghasilkan terobosan “rule breaking” menuju keadilan yang hakiki, letak persoalan mendasarnya berada pada bagaimana kita mengkonstruksi hukum itu sendiri.
Penedekatan “Legal positifistik” yang dominan diterapkan diindonesia secara dominan selalu dibenarkan dengan logika bahwa, sebagai negara yang menjalankan sistem “Europa Kontinental” maka penegakan postivisme hukum adalah suatu konsekuensi yang mutlak dan hakim bertugas mengambil keputusan hanya berdasarkan aturan yang berlaku “ius constitutum”.
Secara sederhana dapat kita asumsikan hakim terjebak dan mengamini hal yang demikian itu, hukum seolah-olah ingin diubah menjadi ilmu yang pasti “eksakta” padahal ini bertolak belakang dengan hakikat ilmu hukum itu sendiri yang tidak memiliki definisi baku,, meminjam istilah prof. Satjipto Rahardjo, bahwa hukum adalah ( Law as a proces, Law in the making ) karena hukum pada hakikatnya adalah kreativitas manusia untuk terus menerus menggali keadilan tanpa akhir.
Penegakan hukum yang demikian itu apabila terus langgeg dan tidak diubah secara mendasar, kedepannya secara otomatis akan mendatangkan kasus-kasu lainya dengan peristiwa yang berbeda namun dengan logika yang sama.
Menghadirkan Progresifitas Hukum
Kehadiran hukum adalah dari dan untuk manusia, bukan dari manusia untuk hukum itu sendiri, maka menjadi konsekuensi logis bahwa Hukum bertugas melayani masyarakat, bukan sebaliknya.
Manusia harus ditempatkan diatas hukum sebagai subjek, apabila terdapat kebuntuan didalam penegakan hukum, bukan manusia yang harus dipaksakan untuk mengikuti skema hukum, tetapi hukumlah yang sebaliknya harus ditinjau, sehingga selaras dengan perkembangan hidup masyarakat dan mengandung pula nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Paling tidak melibatkan konteks dan makna.
Hukum progresif yang kita kenal sebagai bentuk “protes rasional” atas realitas hukum diindonesia hari ini mendapatkan kembali ruangnya yang telah sekian lama hilang dari diskursus hukum kita. Didalam hukum progresif, keadilan harus tercipta dengan syarat melibatkan konteks serta makna, berbeda dengan hukum legal positifistik yang hanya bertumpu pada aspek kepastian semata “normatif”.
Kasus (ZA) menjadi contoh mutakhir penegakan hukum yang kaku dan tidak kreatif., padahal undang-undang kekuasaan kehakiman tahun 1970 secara substansi sudah bersifat progresif, dimana hakim tidak hanya terpaku atas bunyi undang-undang, melainkan juga diwajibkan untuk menggali nilai dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Secara susbtansi nilai filosofis dqlam beberapa undang-undang sperti uu kekuasaan kehakiman telah mengandung nilai progresif, namun harus dibarengi pula dengan penegakan hukum yang progresif, dua hal ini bagaikan dua mata sisi dari uang yang tidak bisa dipisahkan.
Keleleluasan hakim yang tidak lagi terikat pada bunyi undang-undang yang diperoleh melalui uu kekuasaan kehakiman seharusnya bisa membuat hakim mampu menghasilkan suatu terobosan bagi kasus (ZA) yang didakwa melakukan pembunuhan. Namun didalam proses penegakan dan hasil dakwaan mencerminkan penegekan yang belum progresif dan masih sajah terjebak pada legalitas formal.
Didalam hukum progresif pencarian keadilan tidak mungkin diperoleh hanya dari aspek normatif sajah, tetapi harus juga aspek “sosiologis”. Disinilah relefansi hukum progresif dalam upaya menciptakan keadilan menjadi urgensi dan bermanfaat.
Urgensi adanya susbtansi dan penegakan hukum progresif sudah harus diterapkan dalam mekanisme “rule of law” di tanah air, sehingga terobosan dapat diciptakan dalam menyelsaikan persoalan hukum tanpa mengorbankan nilai kemanfaatan dan keadilan. Dengan demikian contoh-contoh kasus yang terjadi dapat teratasi sejak wal dan tidak terulang kemabli pada masa-masa yang akan datang. Mengingat hukum selalu tertatih-tatih mengikuti perkembangan masyarakat, maka hukum itu snediri seharusnya dinamis, hukum akan kehilangan makna apabila tetapi baku dan statis.
Penulis adalah Yusril Toatubun, Kabid PTKP HMI Komisariat Hukum
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang