Refleksi IWD (International Women’s Day): Perempuan dalam Perubahan Ekologi Global

Perlawanan Kaum buruh perempuan terhadap perusahan tekstil di Amerika Serikat 8 Maret 1909, menjadi awal kebangkitan kaum perempuan dalam melawan sistem tirani di kala itu. Upah yang rendah menjadi alasan paling kuat kaum buruh perempuan melakukan perlawanan. Dalam buku The Feminism Book: Big Ideas Simply Explained (2019), di tuliskan dengan jelas bahwa telah terjadi aksi demonstrasi yang melibatkan kurang lebih 15 ribu perempuan buruh pabrik tekstil di New York.
Perlawanan kaum perempuan terus berlanjut di depan pemerintah Amerika Serikat kaum buruh perempuan yang tergabung dalam Socialist Party of America (SPA) atau Partai Sosialis Amerika melakukan aksi besar-besaran menuntut hak berpendapat dan berpolitik. Actor utama dalam unjuk rasa ini di motori Theresa Malkiel. Terlahir sebagai keluarga yang mayoritasnya buruh tidak menjadikan Thersa Malkiel tunduk begitu saja kepada pemodal maupun pemerintah. Dalam The Joy of Family Traditions, Jennifer Trainer Thompson (2011) menyebut aksi-aksi ini melibatkan lebih dari satu juta orang dari seluruh dunia. Dengan berbagai upaya yang dilakukan kaum perempuan di seluruh penjuru dunia, sehingga membuka mata PBB dalam melihat kondisi perempuan dizaman itu. Untuk menghormati segala bentuk pengorbanan kaum perempuan, maka PBB menobatkan dan meresmikan hari Perempuan Sedunia pada tanggal 8 maret 1977.
Perempuan dalam Perubahan Ekologi Global
Membicarakan mengenai Perempuan dalam perubahan Ekologi Global sangatlah seksi untuk diskusikan dalam ruang-ruang kritis yang ada. Keselarasan antara manusia dan alam mendorong terjadinya kesinambungan yang konktir antara manusia dan alam. Dalam filafat india kedua hubungan di jelaskan dalam bentuk Prariti (alam) dan Purusha (manusia) dimana kedua nya memiliki hubungan saling memelihara dan menjaga bukan terpisah.
Perempuan pada imajinasi dan relaitas praktikannya secara sempurna memiliki kekhususan dalam merawat alam. Ya, perempuan dikodartkan sebagai pemelihara kehidupan, dimana memiliki keahlian dalam memproduksi kehidupan. Perempuan memiliki kemampuan menjaga keberlanjutan dan kelestarian alam. Sebab pada tatanan prinsip feminin, alam dipersepsikan dan dimaknai sebagai sumber penghidupan. Namun keahlian perempuan dalam produktivitasnya mengelola kehidupan mengalami kemandekan karena lahirnya kapitalisme modern beserta seperangkat komponennya. Perempuan tidak lagi dipandang sebagai pelaku aktif dalam memproduksi ekonomi. Pada kondisi ini perempuan kehilangan peran produktifnya. Ia digantikan tenaga mesin yang dalam kelipatannya mampu memproduksi komoditas sebanyak mungkin dan untuk meningkatkan nilai tambah dari kerja produksi. Akumulasi kapital menciptakan kategorisasi-kategorisasi pekerjaan yang semakin terfragmentasi dan rumit. Perubahan fungsi alam sebagai penghidupan telah di eksploitasi oleh para capital. Alam kehilangan kepercayaan nya dan perempuan kehilangan etikanya dalam menjaga kelestarian dan keberlanjutan alam.
Alam seharusnya di maknai sebagai perempuan, dimana pada prinsipnya perempuan merupakann sumber mata air penghidupan. Bukan dijadikan sebagai lahan komersialisasi untuk mengkayakan diri secara individu atau beberapa kelompok. Dalam kosmologi timur bumi/alam memiliki prinsip feminis dimana ada unsur dialektis dan coexistene (Hidup berdampingan) yang saling membutuhkan dan melengkapi. Boleh dikatakan bahwa dalam pandangan masyarakat awam bumi/alam ditempatkan sebagai subordinasi dari kerasukan manusia yang menjadikannya sebagai objek eksploitasi.
Maka dengan demikian, perempuan dan alam perlu dipahami sebagai satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Berangkat dari hal tersebut perempuan harus diberikan keleluasaan dalam mengelola alam. Ada facta yang yang di sangat ironi di bangsa ini. Sekitar awal tahun 2016 menunjukan hampir 85% petani tidak memiilki lahan dan perempuan adalah kelompok yang paling rentan dalam perubahan ekologi atau terjadinya krisis ekologi. Demikian boleh dikatakan bahwa pengetahuan perempuan dalam mengelola dan mengontrol alam digantikan dengan cara baru yang mengabaikan keberlanjutan ekologi. Terjadinya perubahan ekologi disebabkan karena adanya perampasan lahan, eksploitasi SDA alam yang berlebihan yang tidak memerhatikan aspek keberlanjutan. Perlu disadari bahwa dalam perubahan ekologi global disebabkan karena ketidaksadaran manusia akan pentingnya alam bagi kehidupan kita, terlepas dari hal tersebut pemerintah sebagai pemangku kebijakan tertinggi harus mampu menghadirkan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap lingkungan, bukannya malah berpihak kepada para pemodal.
Dengan demikian perempuan harus dilihat sebagai subyek positif dalam menjaga kelesatarian dan keberlanjutan alam. Untuk itu, pengetahuan menjadi sumber dan kekuatan penting bagi perempuan agar tidak terjadi pembiasan gender. Kenapa demikian, karena pandangan masyarakat awam perempuan sering kali di anggap sebagai kaum yang lemah sehingga yang hanya bisa melakukan hal itu semua berupa menjaga dan melastarikan lingkungan adalah kaum laki-laki, hal ini yang sering disebut dengan androsenterisme.
Berangkat dari demikian, guna menjaga terjadinya perubahan ekologi global maka perlu adanya peran permpuan yang massif dengan bermodalkan pengetahuan social-ekologi maupun pengetahuan-pengetahuan lainnya. Hal ini akan selaras pada wilayah implementasi yang harusnya focus pada peran perempuan, contohnya Komunitas perempuan konservasi alam, pertanian dan perikanan berkelanjutan, pemanfaatan dan pengelolaan hutan, air maupun melakukan eksplorasi SDA yang ada di bangsa ini. Tentunya, ini tidak selesai pada level inovasi teknokratis semata melainkan bagaimana kaum perempuan bisa kembali lagi ke peran produktifnya tanpa adanya bias androsentris dan dominasi patriarki.
Penulis adalah Jan Tuheteru, Mahasiswa Perikanan Universitas Muhammadiyah Malang
Ketua Umum HMI Komisariat Peternakan-Perikanan Universitas Muhammadiyah Malang