Jakarta – Ketua Ikatan Rakyat Aktivis Reformasi (IKRAR) Yaser Hatim menanggapi pernyataan Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid yang mengatakan langkah Negosiasi dengan KKB cenderung merendahkan Harga diri negara.
“Berbulan-bulan Pilot Susi Air Philips Marthen disandera oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) pimpinan Egianus Kogoya. Instrumen Pendekatan hukum yang dilakukan Aparat Keamanan (Polri) tidak optimal bahkan tidak mampu dan sanggup dilakukan terhadap KKB yang semakin menunjukkan taringnya terhadap aparat keamanan (pemerintah dan negara) dihadapan rakyat Indonesia maupun dimata negara lain (khususnya Selandia Baru).”, ujar Yaser Hatim saat dikonformasi oleh awak media.(07/07).
Menurutnya, bentuk perbantuan yang dilakukan TNI dalam mendukung Polri menyelamatkan Pilot Susi Air sudah memakan korban beberapa Prajurit TNI yang meninggal dunia. Dengan langkah Panglima TNI sudah tepat dalam membackup Polri dan mengedepankan langkah hukum dan kemanusiaan dalam pembebasan Philips Marten.
Belakangan pendekatan negosiasi yang dilakukan Pemerintah melalui Pemerintah Daerah dan Tokoh Masyarakat Papua, KKB meminta tebusan sebesar Rp 5 M untuk membebaskan sandera Pilot Philips Marten.
“Potret inilah yang mendorong Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid, menganggap negosiasi menebus Sandra sebesar 5 M cenderung merendahkan harga diri Negara.”, tandas Yaser.
Yaser melihat pendekatan profesional sudah tentu dilakukan TNI-Polri namun langkah selanjutnya tentu menunggu keputusan negara (Pemerintah dan DPR RI/Komisi I) dalam menyelesaikan persoalan KKB yang merongrong dan melecehkan negara.
Artinya, kata Yaser, seharusnya Meutya Hafid sebagai Ketua Komisi I DPRI RI bisa mendorong langkah dan solusi konkrit bukan malah mendorong Panglima TNI yang harus berdiri didepan (menjadi tameng) dan seolah-olah menanggung beban permasalahan yang ditimbulkan KKB.
Kedua, kata dia, padahal sudah jelas status yang diberikan pemerintah adalah kelompok kriminal yang dalam negara ini Aparat Penegak Hukumlah (Polri) yang bertanggung jawab. Rendahnya harga diri negara karena memang tidak bisa menegakkan hukum terhadap KKB di Papua.
Yaser pun mengingatkan kapasitas Ketua Komisi I DPR RI seharusnya mampu mendorong usulan konkrit kepada Presiden seperti penerapan status darurat sipil didaerah tersebut untuk melokalisir pergerakan KKB dan memberikan keleluasaan aparat keamanan dalam melakukan operasi pembebasan sandra dan penumpasan KKB sampai keakar-akarnya.
Penamaan KKB juga sudah tidak relevan dan harus diganti dengan Kelompok Teroris Separatis (KTS) karena upaya yang dilakukan KKB sudah menjadikan manusia sebagai tameng hidup dan sasaran teror maupun tindakan kekerasan.
“Kemudian usulan lainnya, bisa meminta Pemerintah RI agar negara asal pilot yang di Sandra memberikan nota diplomatik dukungan kepada pemerintah RI dalam menumpas KKB dan pembebasan Sandra hal ini penting untuk memastikan Selandia Baru tidak bermuka dua terhadap gerakan KKB.”, paparnya.
Yaser pun menyarankan agar keberanian Komisi I DPR RI dalam mendorong pemerintah melakukan langkah tegas dan tuntas perlu dilakukan untuk meligitimasi tindakan negara.
“Ketua Komisi I DPR RI bukan pengadilan bahkan hakim yang menyalahkan Panglima. Justru kita menunggu langkah dan solusi konkrit dari ketua Komisi 1 DPR RI dalam menyelesaikan persoalan negara di Papua.”, tutupnya.(red)