Penyiksaan dan Kriminalisasi Aparat Kepolisian, Rezim Anti HAM?

Praktek penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi adalah praktek yang sangat ditentang di dalam sistem hukum HAM Internasional. Penentangan tersebut semakin menguat pasca peristiwa Perang Dunia II, ketika peristiwa perang tersebut tidak hanya menimbulkan korban jiwa yang begitu besar, namun juga traumatik mendalam yang membutuhkan pemulihan dalam jangka panjang. Praktek penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya tidak berhenti begitu saja setelah Perang Dunia II usai.
rezim otoritarian yang berkuasa atau kontestasi antar kelompok politik masih kerap mereproduksi praktek penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya dengan mempertahankan pola yang serupa. Bahkan dalam sebuah Negara hukum yang demokratis sekalipun penyiksaan masih terjadi.
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dalam Resolusinya No. 39/46 tanggal 10 Desember 1984 dan mulai diberlakukan pada tanggal 26 Juni 1987.
Pasal 2 konvensi ini menegaskan bahwa setiap negara peserta konvensi harus dapat mencegah kekerasan dalam wilayah jurisdiksinya, tanpa memandang apakah terjadi dalam masa damai ataupun perang. Kemudian Pasal 11 konvensi yang sama menyebutkan, setiap negara peserta konvensi ini haruslah menegakkan peraturan yang sistematis dalam hal interogasi, penangkapan, dan penahanan, serta harus menghindari tindak kekerasan. Bagaimana menghindari, menghapus dan mengatasi penyiksaan, menjadi hal penting.
Pasca perang dunia ke-2, pemikiran untuk menghapuskan penyiksaan berkembang pesat, khususnya di negara-negara berkembang, yang pada saat itu dikuasasi oleh rezim otoritarian. Situasi ini, semakin mendorong pentingnya penghukuman secara internasional terhadap penyiksaan Dalam situasi inilah, United Nations Convention agains Torture (UNCAT) disusun dan diadopsi pada sidang umum PBB pada tanggal 10 Desember 1984 melalui resolusi 39/46.
Indonesia telah meratifikasi konvensi anti penyiksaan tersebut sejak tanggal 28 September 1998 melalui UU No. 5 tahun 1998. Lewat ratifikasi tersebut Indonesia menegaskan komitmennya untuk menghentikan praktek-praktek penyiksaan. Momentum ratifikasi ini penting untuk pengingat pemerintah dalam mendorong fungsi pengawasan dan akuntabilitas aktor keamanan yang acapkali masih melakukan tindakan penyiksaan.
Pasca Orde Baru tumbang, Indonesia memiliki komitmen untuk melakukan politik ratifikasi instrumen-instrumen hukum HAM Internasional dan mengadopsinya menjadi bagian dari norma hukum nasional. Adanya kemauan kuat dari rezim demokratik pasca Orde Baru untuk memutus mata rantai penyiksaan dan model tindakan tidak manusiawi dan keji lainnya harus diteruskan. Pertanyaannya yang dirasa sangat tepat untuk saat ini adalah sudah sampai sejauh mana Negara kita melangkah untuk memutus mata rantai kekerasan dan praktek penyiksaan serta tindakan tidak manusiawi di Indonesia?
Undang-Udang Dasar 1945 (UUD 1945) adalah hukum dasar tertulis yang mengikat pemerintah, lembaga-lembaga negara, lembaga masyarakat, dan juga mengikat setiap warga negara Indonesia dimanapun mereka berada dan juga mengikat setiap penduduk yang berada di wilayah Negara Republik Indonesia.
Sifat dari UUD 1945 adalah memuat aturan-aturan pokok, yaitu hanya memuat garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat dan penyelenggara negara lainnya untuk menyelenggarakan kehidupan bernegara, sehingga setiap produk hukum seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, ataupun bahkan setiap tindakan atau kebijakan pemerintah haruslah berlandaskan dan bersumber pada peraturan yang lebih tinggi, yang pada akhirnya kesemuanya peraturan perundang-undangan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan UUD 1945.
Meskipun dalam UUD 1945 tidak banyak mencantumkan pasal tentang HAM namun demikian hukum dasar tertulis tersebut mengatur mengenai larangan praktek-praktek penyiksaan, ketentuan yang relevan dengan hal tersebut adalah Pasal 28 huruf G ayat (2) yang secara jelas dan tegas melarang praktek penyiksaan, Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. Meskipun pasal-pasal yang mengatur tentang HAM relatif terbatas dalam UUD 1945, hal tersebut sejatinya tidak menjadi penghambat dalam penegakan nilai-nilai HAM itu sendiri.
Aparat kepolisian secara konsisten menjadi pelaku penyiksaan pada proses penangkapan, pemeriksaan, maupun penahanan, di sisi lain jumlah petugas lapas yang menjadi pelaku penyiksaan di tahap ini meningkat. Hal ini dapat disebabkan tahanan ditempatkan di Rutan dan bukan di ruang tahanan kantor kepolisian. Pelaku penyiksaan saat pemeriksaan di dominasi oleh anggota kepolisian.
Keterlibatan aparat penegak hukum dalam bentuk menghasut, menyetujui dan mengetahui penyiksaan dieliminasi dari definisi ini. Selain itu, Tindakan penyiksaan menurut ketentuan Pasal 9 (f) UU HAM adalah penyiksaan yang diletakkan di dalam kerangka kejahatan terhadap kemanusiaan. Konsekuensinya, penyiksaan menurut undang-undang ini bisa dihukum jika memenuhi unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur di dalam Pasal 26 Tahun 2000 di dalam undang-undang ini, namun mengeliminasi konteks penegakan hukum. Pasal 422 KUHP, karena keterbatasan ruang lingkupnya, tidak mampu menjangkau praktik penyiksaan yang dilakukan oleh pejabat publik yang melakukan penyiksaan di luar kepentingan pemeriksaan perkara pidana.
Padahal, dalam penelitian ditemukan praktek penyiksaan yang didasarkan kriminalisasi. di dalam kenyataan, praktik penyiksaan di luar konteks pemeriksaan perkara pidana juga banyak ditemukan. Sedangkan secara kultural, aparat penegak hukum mentolerir penyiksaan. Meskipun penyiksaan diakui memberi dampak penderitaan yang hebat bagi korban, namun penyiksaan diterima sebagai bagian yang terintegrasi dalam proses penegakan hukum pidana.
Sehingga kontrol sosial dari masyarakat terhadap upaya penghapusan penyiksaan pun tidak berjalan. Secara struktural, tidak ada mekanisme pengaduan yang efektif terhadap praktek penyiksaan. Mereka yang mengungkap dan mengeluhkan penyiksaan, tidak mendapatkan tanggapan dari aparat penegak hukum. Sehingga sebagian besar menganggap pengungkapan penyiksaan sebagai upaya yang tidak bermanfaat dan hanya membuang-buang waktu.
Aparat yang melakukan penyiksaan, tidak diproses secara hukum. Bahkan alat bukti yang diperoleh dengan menyiksa, diterima sebagai alat bukti yang sah di persidangan. Akibatnya, pelaku dapat dengan bebas melakukan penyiksaan atas nama penegakan hukum tanpa kuatir terjerat sanksi. Situasi ini akan membahayakan wibawa institusi penegakan hukum dan kepercayaan masyarakat pada proses hukum.
Di tengah tingginya angka penyiksaan, dan keenggananan institusi penegak hukum menindak pelaku penyiksaan, akan terjadi akumulasi kekecewaan dan ketidakpercayaan publik pada mekanisme hukum formal. Masyarakat akan mencari alternatif jalan untuk melindungi dirinya sendiri, termasuk dengan melakukan penyiksaan antara sesama masyarakat. Penghakiman oleh massa ternyata tidak lebih brutal daripada penghakiman kejahatan oleh aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum akan terus melakukan penyiksaan secara bebas, karena tidak ada sistem yang akan menjerat mereka.
Komisi Hukum Nasional dalam Kajiannya tentang reformasi Kepolisian pun mengungkapkan bahwa belum ada kebijakan reward and punishment terhadap aparat kepolisian yang melakukan pelanggaran. Akibatnya, aparat kepolisian yang melakukan penyiksaan tidak diproses secara hukum (impunity).
Upaya pembungkaman terhadap suara kritis sering terjadi Terbukti pada rezim jokowi adanya pasal karet pencemaran nama baik menjadi senjata kriminalisasi. Rabu, 6 September 2017 jurnalis dan aktivis kebebasan berekspresi Dandhy Dwi Laksono dilaporkan oleh Dewan Pengurus Daerah Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Jawa Timur, organisasi sayap PDI Perjuangan, ke Kepolisian Daerah Jawa Timur dengan tuduhan menghina dan menebarkan kebencian pada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo. Dandhy dilaporkan ke polisi dengan menggunakan delik pasal UU ITE. Kasus Dandhy ini menambah panjang deretan kemerdekaan warga negara untuk berpendapat dan berekspresi di Indonesia yang direpresi.
Kritik warga terhadap penguasa ditanggapi dengan pelaporan pidana ke polisi. Ekspresi politik dimaknai ancaman bagi pemerintah. Opini warga dilawan dengan upaya pidana.
Pasal ITE yang paling banyak digunakan adalah Pasal 27 ayat (3) soal pencemaran nama baik, sebanyak 149 kasus (77 persen). Di antara 23 kasus tersebut, dua di antaranya menimpa Gendo, ketua ForBALI, yang dilaporkan Ormas Posko Perjuangan Rakyat (Pospera). Gendo dilaporkan karena kritik pedasnya dalam advokasi penolakan reklamasi Teluk Benoa, Bali. Ada juga kasus Haris Azhar, saat jadi Koordinator KontraS, dilaporkan Polri, BNN, TNI dan Johnly Nahampun ke polisi dengan pasal pencemaran nama baik karena mempersoalkan mafia narkoba yang melibatkan aparat negara.
Padahal kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah wujud nyata partisipasi warga negara yang mesti dihormati dan dirawat oleh pemerintahan demokratis. Opini seharusnya dilawan dengan opini. Demokrasi tidak bisa didirikan di atas pembungkaman kebebasan atas warga untuk berpendapat dan berekspresi.
pada tanggal 23-30 september 2019 tahun kemarin pun telah menegaskan baik pelarangan, pembubaran, maupun penangkapan yang terjadi selama aksi demonstrasi oleh aparat penegak hukum harus selalu bersandar pada prinsip-prinsip hak asasi manusia, sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan tidak sama sekali ditujukan untuk membungkam kebebasan sipil atau menghalangi partisipasi warga (civic duties) dalam kehidupan bernegara. Namun, belum lewat 3 bulan usai laku represif aparat di aksi 23-30 September 2019, lagi-lagi insiden penangkapan massa aksi terjadi.
Pola penangkapan massa aksi peringatan hari HAM di Sarinah kemarin pun cukup menyerupai penangkapan massa aksi #ReformasiDikorupsi, dimana aparat seolah menerapkan adagium tangkap dulu, tanya kemudian. Massa yang tengah bersiap pulang dikejar-kejar oleh sepeda motor, ditangkapi, dan langsung digelandang ke kantor polisi tanpa landasan hukum yang jelas.
tuduhan pelanggaran atas Pasal 63 UU No. 38/2004 merupakan modus terbaru yang digunakan untuk menindak warga yang tengah menyampaikan aspirasi, melengkapi sepuluh pasal favoritpolisi yang paling sering dipakai untuk menjerat massa aksi yang ditangkap. Walhasil, insiden represif tempo hari bukan hanya menunjukkan kembali watak sewenang-wenang aparat penegak hukum, melainkan juga kian menegaskan buruknya kondisi kebebasan sipil warga disebabkan represif aparat kepolisian.
Menilik kondisi ini, segenap elemen masyarakat sipil sudah harus selekasnya menyiapkan diri untuk menghadapi eskalasi penyempitan ruang kebebasan masyarakat sipil yang terus menjadi-jadi. Sebab saat negara terus bersikukuh memalingkan pandangannya dari nilai-nilai HAM dan kebebasan sipil yang menjadi mandat konstitusionalnya, terutama mengingat nihilnya oposisi politik berbasis nilai-nilai HAM dan kebebasan sipil, maka masyarakat sipil lagi-lagi akan mendapat hantaman paling keras dari eskalasi penyempitan ruang demokrasi.
Apa yang dipertaruhkan tidak main-main sukses atau tidaknya masyarakat sipil bertahan di tengah badai ini akan menentukan nasib demokrasi Indonesia.
Jika ada pelajaran yang bisa dipetik dari rezim anti HAM, biarlah pelajaran itu berbentuk sebuah peringatan di tengah tren politik rezim yang semakin anti HAM dan hanya berorientasi akumulasi kekuasaan, pada akhirnya yang bisa kita andalkan hanyalah diri sendiri, dan mereka yang masih merayakan hari HAM sesuai dengan cita-cita historisnya perjuangan yang setia memihak pada martabat manusia.
Pergeseran cara pandang rezim kekuasaan khususnya aparat kepolisian tentang Demonstrasi, dari sebuah Hak yang dilindungi Konstitusi dan UU menjadi tindakan yang perlu di waspadai bahkan dianggap sebuah kejahatan. Hal ini ditandai munculnya kebijakan yang membatasi hak menyampaikan pendapat dimuka umum, penghalang-halangan, perburuan hingga penangkapan tidak beralasan setelah aksi menunjukkan aparat menganggap sifat dasar demonstran adalah melanggar hukum.
Negara khususnya pemerintah tidak menjalankan akuntabilitas terhadap peristiwa pelanggaran hak kebebasan berpendapat dimuka umum, mulai dari memberikan informasi sejelas-jelasnya atas penyebab jatuhnya korban hingga penegakkan hukum terhadap pelaku khususnya yang berasal dari penegak hukum. Korban yang terjadi akibat pergeseran cara pandang tersebut tidak mendapatkan pemulihan yang sesuai prinsip Hak Asasi Manusia.